Uni Eropa selalu dinilai sebagai suatu kerja sama ekonomi berbasis kawasan yang paling ideal dan paling sukses di dunia.[1]
Abstrak: Anggapan ini sekarang mulai
tergoyahkan dan kehilangan pesonanya dengan kemunculan serangkaian
krisis yang melanda negara-negara Uni Eropa. Seakan domino effect itu
benar-benar terjadi, dimulai dari satu negara dan meluas ke beberapa
negara lain. Harus diakui Krisis Yunani inilah yang menjadi awal mula
krisis Eropa, karena itu untuk menjelaskan apa penyebab krisis finansial
dan ekonomi Eropa perlu dipahami terlebih dahulu mengapa akhirnya
Yunani kini harus terbelit dengan jumlah hutang yang begitu banyak.
Pembahasan dalam tulisan ini akan dimulai dengan mencari tahu apa
penyebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya krisis, lalu
mengarah pada dampak dari krisis, dan beberapa analisa kritis lain
mengenai keterkaitan global dan secara khusus keterkaitan dengan
Indonesia
Pembahasan
Krisis yang ramai dibicarakan oleh
kalangan akademisi ini dimulai di pertengahan tahun 2010, namun dalam
tataran empirisnya hal itu hanyalah manifestasi klimaks dari krisis
tersebut, karena pada dasarnya krisis ini telah dimulai bertahun-tahun
sebelumnya. Krisis Finansial sendiri memang sering diidentikan dengan
krisis ekonomi, yang terpenting adalah memahami bahwa krisis finansial
bukan hanya mengenai tingkat ekspir-impor namun lebih jauh, perihal
situasi yang semakin memburuk diperbankan, bisnis skala besar, dan
kebijakan moneter.[2] Krisis Yunani pun demikian, yaitu memiliki hutang yang begitu banyak ke International Monetary Fund (IMF),
yang nyaris tidak terbayarkan, ditambah dengan defisit yang tinggi
serta kondisi ekonomi makro yang kacau. Keadaan ini kemungkinan besar
merupakan buah dari akumulasi kesalahan kebijakan pemerintahan di
masalalu. Pada tahun 1974, Yunani memasuki babak baru bentuk
pemerintahan. Pemerintah baru ini kemudian bernyali mengambil banyak
hutang untuk membiayai subsidi, dana pensiun, dan gaji pegawai. Angka
hutang tersebut terus menumpuk, bahkan jika ditarik lebih jauh,
banyaknya hutang Yunani telah ada sejak tahun 1893. Dibawah kepemimpinan
Trikoupis (1862-1893) Yunani melakukan banyak pembangunan jalan kereta
api, pelabuhan, dan mercusuar.[3] Sejauh ini, penulis menilai bahwa perekonomian Yunani sedari awal pasca transisi memang belum matang.
Awal tahun 2010, diketahui bahwa
Pemerintah Yunani telah membayar Goldman Sachs dan beberapa bank
investasi lainnya untuk mengatur transaksi yang dapat menyembunyikan
angka hutang sesungguhnya. Pemerintah Yunani juga diketahui telah
mengutakatik data statistik ekonomi makro, sehingga kondisi perekonomian
mereka tampak baik-baik saja. Pada Mei 2010, Yunani sekali lagi
tertangkap basah telah mengalami defisit hingga 13.6%.[4]Salah
satu penyebab utama dari defisit tersebut adalah banyaknya kasus
penggelapan pajak, yang diperkirakan telah merugikan negara hingga US$
20 milyar per tahun.[5] Semakin
jelas kini, bahwa pada dasarnya penyebab krisis Yunani begitu kompleks.
Bahkan tidak sedikit para analis yang konsen terhadap isu ini
menyatakan bahwa konsep welfare state yang dipopulerkan negara Eropa ini turut ambil bagian dalam munculnya krisis yang meluas,[6]Terlebih
dalam rangka menjelaskan mengapa akhirnya satu krisis di negara Eropa
menjadi krisis satu Uni Eropa yang akan dijelaskan kemudian.
Krisis Eropa atau juga dapat dikatakan
sebagai krisis euro akhirnya terangkat dipermukaan sebagai isu yang
panas, setelah stimulus krisis Yunani berhasil menarik banyak perhatian
dunia internasional. Bagaimana tidak, jika ternyata rentetan negara tak
mau ketinggalan mencuat dengan kabar adanya krisis yang terlihat dari
bagaimana mereka mencari dana pinjaman baik dari negara lain dan juga
dari IMF, seperti Italia dan Spanyol, ditambah indikasi krisis yang
diperkirakan dialami oleh Portugis, dan Irlandia.[7] Setelah
Yunani, Italia tergolong negara yang krisisnya begitu disorot dunia
internasional, terlebih dengan adanya ‘skandal’ kegagalan Berlusconi
yang menyebabkan keterpurukan ekonomi namun sempat teguh menolak untuk
mengundurkan diri.[8] Kegagalan
mengentaskan Yunani dari krisis akan menyeret negara Uni Eropa lain ke
dalam krisis yang makin dalam, yang ternyata tidak hanya disebabkan oleh
persamaan mata uang. Uni Eropa, yang konon kini menyisakan tiga negara
kuat; yaitu Belanda, Perancis, dan Jerman telah berupaya memberikan dana
talangan, baik teratasnamakan negara dan juga teratasnamakan komisi Uni
Eropa. Menurut penulis, hal ini menggambarkan kesadaran para negara
anggota zona Euro, bahwa perluasan krisis akan sangat mungkin berlanjut
dan akan sangat merugikan.
Integrasi ekonomi yang sukses ini
menyisakan bentuk ketergantungan yang sangat signifikan antar anggota,
sehingga satu krisis sudah cukup untuk menggoyahkan kestabilan
negara-negara anggota yang lain. Penyebab lainnya, adalah karena sejauh
ini monitoring pengelolaan kelembagaan untuk bantuan bersyarat kurang
jelas dan ditambah lemahnya pengaturan pasar obligasi euro.[9] Banyak
sekali mekanisme solutif berhasil dilakukan, namun gagal mencapai
sasaran penyelesaian dan justru menyisakan banyak ‘tugas rumah’ bagi Uni
Eropa. Seperti yang sempat diangkat tadi, konsepWelfare State yang
menjanjikan begitu melimpahnya jaminan sosial yang mahal, akhirnya
justru memanjakan banyak masyarakat Eropa dengan segala kemudahan,
sehingga ketika ada satu ide penghematan ditawarkan, masyarakat menjadi
reaktif untuk menolak terlihat dari banyak demo yang terjadi akibat
cetusan gagasan penghematan. Faktor mayor dan minor, semuanya
berkolaborasi menciptakan suatu krisis yang seakan mustahil diselesaikan
dalam waktu yang singkat.
Pada dasarnya, sistem mata uang
tunggal seakan menjadi pisau bermata dua, dalam artian di satu sisi
begitu menguntungkan dan menambahbargaining position negara
Eropa, namun di saat yang bersamaan penulis menilai ke-tunggal-an mata
uang ini penuh dengan celah yang berpotensi merugikan. Salah satunya
perihal tingkat adaptasi negara, tidak semua negara memiliki
perekonomian yang cukup matang untuk zona euro. Misalnya saja Yunani,
sejak masuk Uni Eropa di tahun 1980, dan masuk pula di zona euro, dalam
satu dekade pertama harapan penguatan ekonomi samasekali tidak tercapai,
yang terjadi justru penurunan tingkat Gross National Product (GNP) Yunani dari 58% menjadi 52%.[10]
Adanya sistem mata uang tunggal
membuat negara-negara lain di Uni Eropa menjadi rentan akan satu
goncangan di satu pilar euro yang ada. Dampak signifikan secara langsung
akan dirasakan oleh negara-negara anggota anggota eurozone.
Harus dipahami disini bahwa definisi zona eropa adalah kesepakatan
beberapa negara, bahkan yang diluar Uni Eropa yang sama-sama menggunakan
mata uang euro, dan juga adapula negara Uni Eropa yang ternyata tidak
tergabung dalam zona euro, seperti United Kingdom dan Denmark.
Penggunaan term ‘negara dalam zona euro’ kini dapat disepakati mengarah
pada negara-negara pengguna euro. Adanya eurozone yang awalnya
sangat menguntungkan kini menjadi momok paling mengerikan sebab hal ini
justru membuat upaya mempertahankan krisis di wilayah internal negara
menjadi upaya yang sia-sia bahkan nyaris mustahil.
Dampak pertama krisis Eropa langsung
dirasakan oleh negara zona euro. Bagi mereka krisis ini memunculkan
instabilitas sistem moneter negara, mengingat kebijakan kawasan zona
euro berdampak langsung pada landscape domestik negara anggota.[11] Kedua,
melemahnya angka pendapatan negara, kembali, dikarenakan berkurangnya
intensitas aktivitas ekonomi antar negara, dan dampak ini akan lebih
dirasakan oleh para negara zona euro yang merupakan anggota Uni Eropa.
Ketiga, adalah munculnya kewajiban penghematan besar, seperti pemotongan
berbagai macam tunjangan kesejahteraan dan bagi mereka yang dianggap
masih kuat, seperti Perancis, Jerman dan Belanda maka mereka banyak
mendapat sorotan untuk memberikan bantuan nyata bagi para negara yang
menghadapi krisis dan tuntutan untuk mempertahankan kekuatan euro dimata
internasional.
Dalam konteks dampak terhadap negara non eurozone memang
tidak dapat terlihat secara langsung, namun samasekali tidak dapat
diartikan bahwa itu tidak ada. Inggris misalnya, dengan cukup cermat
melihat bahwa krisis euro ini akan membuat warga negaranya dibanyak
negara zona euro akan menghadapi banyak kesulitan mengakses account perbankan.[12] Dampak
bagi negara di kawasan Eropa terkait krisis ini adalah adanya tekanan
terkhusus di area perbankan. Swiss misalnya, yang bukan merupakan negara
anggota Uni Eropa dan juga bukan negara zona euro menyatakan bahwa
krisis finansial Eropa ini sangat mempengaruhi perekonomian negaranya,
misalkan dalam penetapan suku bunga dan tingkat pertumbuhan
perekonomian.[13] Dan hal ini berlaku pula di negara seperi Swedia dan Denmark bahkan Norwegia.[14] Selain
tekanan perihal kebijakan moneter-finansial, negara-negara tersebut
menghadapi ancaman serius dalam pemasukan negara sebab angka perdagangan
negara sesama wilayah Eropa sangatlah tinggi.
Analisa Kritis: Sifat Global dan hubungannya dengan Indonesia
Penjelasan mengenai dampak krisis euro di negara non-eurozone mengantarkan
kita pada satu gambaran umum bahwa suatu krisis sangatlah sulit untuk
hanya berada di wilayah lokal. Munculnya satu krisis akan menjadi
ancaman global. Hal ini diakibatkan adanya interdependensi sertainterconnectedness yang
tinggi hasil dari globalisasi, yang menciptakan dunia sebagai ruang
penuh titik yang mana satu sama lainnya saling mempengaruhi.[15] Kajian
Keohane dan Nye menemukan bahwa dunia saat ini memang begitu kompleks,
dan salah satu karakteristik utamanya adalah menurunnya kekuasaan
militer dan berganti dengan isu ekonomi (yang termanifestasi dalam
perdagangan bebas).[16] Hal
inilah yang menjadi dasar mengapa sebuah krisis ekonomi sangat rentan
pada efek ‘multiplikasi’ (bentuk perluasan), sebab memang ekonomi telah
menjadi faktor dominan diarea saling ketergantungan dunia. Praktisnya
dilihat dari angka pendapatan yang diperoleh dari adanya investasi luar
negeri, perusahaan multinasional, ekspor-impor, akan sangat terpengaruh
oleh suatu goncangan kestabilan perekonomian negara lain, terlebih jika
negara tersebut memang adalah partner bisnis utama.
Agaknya, banyak sekali kajian yang
muncul untuk mencoba menelaah dan bahkan bersifat prediktif meramalkan
dampak krisis Eropa ini ke Indonesia. Beberapa diantaranya masih teguh
menyatakan bahwa Indonesia akan banyak terpengaruh, namun studi yang
lebih dalam akan mengantarkan pembahasan di sisi opini yang berbeda
bahwasanya krisis Eropa tidak akan banyak berpengaruh ke Indonesia.
Krisis ekonomi Eropa mempengaruhi Indonesia melalui transaksi
perdagangan internasional dan aliran modal, dan akhirnya membuat ekspor
Indonesia melemah, bahkan jika ditarik lebih jauh ekspor terhadap mitra
ekonomi utama Eropa -seperti Amerika dan Jepang- juga akan mengalami
penurunan. Namun kabar baiknya adalah kenyataan bahwa kontribusi ekspor
kita terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang kini berkisar pada angka
Rp. 7.000 triliun, tidaklah besar. Ekspor netto (selisih antara ekspor
terhadap impor) Indonesia dalam dua tahun terakhir sekitar USD 20
miliar, yang ekuivalen dnegan 3% PDB. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kontribusi ekspor ini menempati persentase yang relatif kecil,
apalagi jika disejajarkan dengan besarnya pemasukan konsumsi rumah
tangga yaitu yang mencapai angka 60%. Sisanya disumbang oleh investasi
(30%) dan belanja pemerintah sebesar 7%.
Ditengah carut-marutnya kondisi
finansial Eropa, muncul berbagai macam kepanikan. Salah satunya seperti
apa yang dicatat oleh majalahRolling Stones-Indonesia yang
mengatakan bahwa dampak krisis Eropa membuat band besar seperti
Metallica bahkan mengubah rute konsernya ke Asia.[17]Seperti yang dilaporkan oleh Kompas,
manajer Metallica, Cliff Burnstein, telah mempersingkat lawatan bandnya
ke Eropa guna menghindari masalah pembayaran yang dapat disebabkan oleh
anjloknya nilai mata uang euro. Contoh ini hanyalah sebuah pengantar
untuk memulai mencari tahu apa keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia
dari kondisi sulit Eropa. Kita dapat menyepakatinya melalui term Blessing in Disguise.
Ketidakstabilan pasar finansial dan kondisi perekonomian Eropa langsung
berimbas pada kepanikan dari para investor. Tidak mengejutkan jika
prediksi menyatakan bahwa sejak akhir 2011 aroma ketidakpastian
penyelesaian krisis zona euro akan membuat beberapa negara di luar Eropa
diuntungkan, dan salah satunya adalah Indonesia. Orientasi jangka
menengah ke depan memperlihatkan bahwa banyak potensi dimana investor
akan memandang Indonesia sebagai negara penting untuk menerima investasi
portofolio, sebagaimana China dan India.[18] Kekhawatiran
akan efek domino krisis Eropa ini, justru mendorong korporasi asal
Eropa melirik Indonesia berinvestasi, antara lain sektor farmasi,
perkapalan dan manufaktur umum.
Kesimpulan :
Krisis di kawasan Eropa adalah
permasalahan serius sebab menyangkut perekonomian dari sisi perbankan,
bisnis skala besar, dan kebijakan moneter yang praktis langsung
berdampak pada aktivitas ekonomi semacam ekspor-impor dan investasi.
Keterpurukan Eropa mulai mencuat di 2010 dan memanas di 2012. Diawali
dari krisis Yunani yang didalamnya menyangkut adanya kesalahan masa lalu
ditambah beberapa kasus yang semakin mempersulit posisinya. Disusul
oleh Italia dan Spanyol yang juga meminta dana talangan dan pinjaman
baik ke Uni Eropa dan IMF. Ada indikasi faktor ketidakmatangan adaptasi
beberapa negara yang tergabung dalam eurozone yang menyebabkan krisis
terjadi, ditambah dengan regulasi moneter yang kurang tepat sasaran. Hal
ini berdampak besar bagi negara anggota zona euro dan bahkan bagi
negara non anggota zona euro yang dipengaruhi faktor intensnya
perdagangan dan saling terkaitnya kebijakan perbankan. Jika dilihat dari
dampat diluar Eropa, krisis Euro menjadi ketakutan bagi banyak negara,
China misalnya sebagai partner besar Eropa. Efek global ini tidak lain
dikarenakan adanya tingkat saling berhubungan satu negara dengan negara
yang lain. Beruntungnya, hal ini membuat Indonesia menikmati keuntungan
‘terselubung’, yaitu dengan banyaknya investasi portofolio yang masuk
__________________________________________________________________________________
[1] Budi Winarno. 2011. Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS. hal 100
[2] Anonym, n.d. [online] www.pfhub.com/financial-crisis/ diakses 12 Januari 2012
[3] PPT perkuliahan Masyarakat Budaya Eropa. 2011. Geopolitik Yunani. slide 6
[4] Angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan standart toleransi defisit Uni Eropa yang hanya 3%
[5] Anonym. 2010. Wall St. Helped to Mask Debt Fueling Europe’s Crisis. [online] www.nytimes.com/2010/02/14/business/global/14debt.html?pagewanted=alldiakses 12 Januari 2012
[6] Opini ini disampaikan salah satunya oleh Bpk. Wijayanto, Managing Director Paramadina Public Policy Institute
[7] Anonym. 2010. [online] www.globalissues.org/article/768/global-financial-crisis diakses 12 Januari 2012
[8] Silvia. 2011. Berlusconi diujung Tanduk. [online] www.jurnas.com/halaman/17/2011-11-09/188382 diakses 12 Januari 2012
[9] Hasil analisa George Soros dalam Financial Times, Februari 2010
[10] PPT perkuliahan Masyarakat Budaya Eropa. 2011. Geopolitik Yunani. slide 15
[11] Budi Winarno. 2011. Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS. hal 98
[12] Thierry Roge. 2011. Inggris Bersiap Hadapi Rusuh akibat Kejatuhan euro. [online] www.tempo.co/read/news/2011/11/29/117369014/Inggris-Bersiap-Hadapi-Rusuh-Akibat-Kejatuhan-Euro diakses 12 Januari 2012
[13] Anonym, 2011. Low
interest rates and euro debt crisis will negatively impact insurer
profitability and assets as economies slow; industry's capitalisation is
stronger than in 2007; emerging markets growth slowed in 2011, but
prospects are still robust. [online]www.swissre.com/media/news_releases/nr_20111201_euro_debt_crisis.html diakses 12 Januari 2012
[14] Greg Holden. 2011. Scandinavian Currencies Weighted by Euro Zone Woes. [online] www.forexyard.com/blog/en/2011/07/13/scandinavian-currencies-weighted-by-euro-zone-woes/ diakses 12 Januari 2012
[15] Budi Winarno. 2011. Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS. hal 98
[16] Penjelasan lebih detail gagasan Keohane dan Nye dapat dibaca dalam Robert O Keohane dan Joseph S Nye, 1977. Power and Interdependence: World Politics in Transition. Boston: Little, Brown and Company (Inc).
[17]Reno Nismara. 2011. Eropa Dilanda Krisis Keuangan, Manajer Metallica Melirik Indonesia. [online]rollingstone.co.id/read/2011/12/05/164101/1783094/1093/eropa-dilanda-krisis-keuangan-manajer-metallica-melirik-indonesia diakses 12 Januari 2012
[18] Sapariah, 2011. Kepanikan yang Membawa Keuntungan. [online] www.jurnas.com/halaman/10/2011-11-08/188315 diakses 12 Januari 2012
Sumber : http://buahpikir-claudya-fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-42967-charming%20europe-Krisis%20Finansial%20Eropa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar